Senin, 02 Februari 2009

cinta...

Sore itu angin berhembus pelan memberikan kehangatan bagi siapa saja yang menikmatinya. Ia berjalan pelan ke arah bangku di bawah pohon beringin. Wajahnya menyiratkan perasaan sedih yang tertahan. Rambutnya melambai indah dihembuskan angin sore. Ia duduk di bangku itu sendiri. Ia terdiam, terhanyut dalam perasaan sedihnya.
Sudah lama aku memperhatikannya. Ia selalu menghabiskan sorenya di sini, membawa sebuah surat dan membacanya. Terkadang ia tersenyum. Seringkali ia tertawa sampai air matanya menetes membaca surat-surat yang dibawanya. Aku suka caranya tertawa. Saat ia tertawa, hatiku ikut bahagia, burung-burung ikut bernyanyi, awan tersenyum dan bersiul, daun-daun di pohon bergemerisik, menari gembira. Menghasilkan harmonisasi alam yang indah.
Ia tersadar dari lamunannya lalu ia membaca sebuah surat di tangannya. Tidak lama kemudian ia menangis. Hatiku teriris melihatnya menangis. Aku ingin merangkul dan menenangkan hatinya. Aku ingin menghibur dan menghapus air matanya. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa terdiam di sini, memandangnya dari sini.
Aku berbisik pada burung-burung, “Menyanyilah kawanku, hiburlah hatinya. Aku sakit melihatnya menangis.”
Aku memohon pada awan, “Kawanku, belailah dia dengan hembusan hangatmu.”
Aku berkata pada pohon, “Ayo kita menari kawan!”
Angin membelai lembut rambutnya. Burung-burung mulai bernyanyi diiringi tarian pepohonan. Tapi ia masih saja menangis. Hatiku semakin pilu melihatnya. Ia masih saja terlarut dalam kesedihannya.
“Berhentilah kawan, kita beri waktu untuknya,” ucapku sedih.
Suasana kembali sepi. Yang terdengar hanya isak tangisnya. Aku sedih, sangat sedih. Ingin aku memukul orang yang telah membuatnya menangis. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa.
“Jangan menyerah kawan! Kita tunjukkan padanya bahwa dia tidak sendirian. Ayo kita menyanyi dan menari,” hibur burung-burung.
Aku tersenyum, “Kau benar, kita tidak boleh berhenti.”
Kami terus menari dan menyanyi. Kami tak pantang menyerah untuk menghiburnya. Burung-burung terus menggodanya, berkicau dan bersiul mendekatinya, menari-nari di atas rambutnya yang elok. Angin terus membelainya lembut, memberikan kehangatan dan menghapus air matanya. Daun-daun bergemerisik memberikan ketenangan.
Aku berbisik, “Ceritakan keluh kesahmu, Sayang. Jangan kau menangis.”
Perlahan-lahan tangisnya berhenti. Ia mengambil saputangan di sakunya dan mnghapus air matanya.
Tiba-tiba hand phonenya berbunyi nyaring. Ia segera mengambilnya di saku dan membaca sebuah pesan singkat. Ia tersenyum kecil membaca pesan itu.
Aku lega melihat senyumnya.
“Teruskan kawan-kawan!” pintaku sambil tersenyum.
Kami terus menghiburnya hingga ia tertawa, melihat burung-burung yang bernyanyi riang. Ia tersenyum merasakan desiran angin dan gemerisik dedaunan. Gurat-gurat kesedihan di wajahnya perlahan-lahan hilang.
Ia terus duduk menikmati sore yang indah hingga akhirnya ia memutuskan untuk pergi. Ia berdiri dan membuang suratnya lalu pergi menjelang hari esok yang penuh cinta.
Aku memohon pada angin untuk membawa surat itu padaku. Angin tersenyum dan menghembuskan kekuatannya hingga surat itu tersangkut di salah satu dahanku. Aku membaca surat itu perlahan, surat yang telah membuatnya menangis.

Adikku sayang…
Aku sedih mendengar kenyataan ini. Aku menangis, sesungguhnya aku tak rela dan ingin menepis semua kenyataan ini. Tapi aku tidak ingin menjadi seorang anak yang durhaka. Aku memilih untuk melihat kebahagiaan Ibuku, wanita yang telah membesarkanku. Aku mencintaimu, tapi aku lebih mencintai Ibuku dan Tuhanku. Kebahagiaannya adalah kebahagianku walaupun aku harus mengorbankan perasaanku.
Sebenarnya aku sangat hancur saat aku tahu bahwa kau, kekasihku ternyata adik tiriku. Tapi cinta kita tidak mungkin bersatu karena kini kau saudaraku. Biarkan cinta ini menjadi abadi dengan kasih sayangku sebagai kakakmu. Aku tidak bisa melihatmu menangis, tapi aku lebih tidak bisa melihat Ibuku menangis dan aku tidak sanggup menerima amarah Tuhan apabila kita tetap melanjutkan hubungan kita.
Relakanlah aku sebagai kekasihmu, tapi terimalah aku sebagai kakakmu. Sayangi aku selayaknya kau menyayangi kakakmu. Jangan bersedih adikku. Terimalah ini semua dengan lapang. Mungkin kita memang bukan jodoh. Kita ditakdirkan untuk menjadi saudara, bukan sepasang kekasih. Tersenyum dan berbahagialah untuk kebahagiaan orang tua kita dan juga kebahagiaanku. Sesungguhnya tak ada yang lebih membahagiakan lagi selain melihat orang yang kita sayangi tersenyum bahagia.
Adikku sayang, percayalah bahwa bersamamu adalah hal terindah yang pernah aku terima dalam hidupku. Percayalah bahwa aku sangat menyayangimu. Percayalah bahwa cinta datang dalam bentuk apa saja. Percayalah karena kau hanya butuh rasa percaya itu…

Aku menangis membaca surat itu seolah-olah aku ikut merasakan apa yang gadis itu rasakan. Angin membelaiku lembut dan membisikkan kata-kata penghibur.
“Tapi aku juga mencintainya. Aku tak sanggup melihatnya menderita,” isakku pada burung-burung.
“Percayalah ia akan bahagia,” ucap burung-burung.
“Aku sangat mencintainya…” isakku lagi.
“Percayalah ia juga mencintaimu,” bisik angin.
“Bagaimana mungkin? Ia seorang manusia dan aku hanyalah pohon,” ucapku sedih.
“Ia selalu menjagamu. Ia selalu merawatmu. Bukankah itu cinta? Ia juga mencintaimu. Ingatlah anakku, cinta bisa datang dalam bentuk apa saja. Ia tidak pernah meninggalkan kita,” ucap angin bijaksana.
Apa yang dikataknnya benar. Aku pun tersenyum dan berhenti menangis. Ya, cinta selalu ada dan ia datang dalam bentuk apa saja. Andai saja semua manusia menyadari hal itu. Aku yakin dunia ini akan selalu terjaga keindahannya.

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar